Saditra, Istilah “tabur tuai” mungkin sudah sangat akrab di telinga kita.
Artinya sederhana, apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.
Kalau kita menanam kebaikan, kebaikan pula yang akan kita dapat. Sebaliknya, Kalau yang kita tabur adalah kejahatan, maka kita pun akan menuai akibatnya, cepat atau lambat.
Tapi, bagaimana pandangan Islam soal ini? Apakah Islam mengenal konsep seperti itu?
Bagaimana Islam Memandang?
Dalam ajaran Islam, prinsip seperti ini, memang dikenal luas. Hanya saja, istilah yang digunakan bukan “tabur tuai”, melainkan “balasan amal”, atau dalam bahasa Arab disebut jaza’ul ‘amal.
Prinsip ini dijelaskan dengan sangat jelas dalam banyak ayat Al-Qur’an, hadits, dan penjelasan para ulama dari zaman dahulu.
Allah Subhanaahu Wata’ala berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji sawi), niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya pula).”
(QS. Az-Zalzalah: 7–8)
Ayat ini menjadi fondasi kuat bahwa tidak ada amal perbuatan yang sia-sia. Bahkan hal terkecil sekalipun akan mendapat balasan yang setimpal.
Dan bukan hanya soal kebaikan atau dosa besar—bahkan niat dalam hati pun diperhitungkan. Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, menabur niat yang ikhlas pun sudah termasuk bagian dari “menanam”, dan kelak akan membuahkan hasil sesuai ketulusan itu.
Bagaimana tanggapan para Ulama?
Para ulama juga banyak menulis tentang hal ini. Dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ karya Imam Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, beliau menulis:
“Sesungguhnya dosa itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Ia menjadi sebab kesempitan rezeki, gelisahnya hati, le
mahnya tubuh, berkurangnya keberkahan umur, dan jauhnya seseorang dari Allah.”
Di sini, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa perbuatan buruk, sebagaimana benih yang rusak, akan menumbuhkan buah yang buruk pula. Bahkan dalam kehidupan dunia pun pengaruhnya bisa langsung terasa.
Sebaliknya, kebaikan akan melahirkan manfaat yang luas. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menulis:
“Amal saleh yang dilakukan terus-menerus akan memperkuat cahaya di hati, dan Allah akan membukakan jalan bagi hamba untuk mengenal-Nya lebih dalam.”
Artinya, amal kebaikan yang tampak sederhana—seperti menolong orang, memberi sedekah, atau bahkan senyum tulus—bisa menjadi benih yang tumbuh menjadi pohon keberkahan dalam hidup kita.
Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat Surah Al-Baqarah: 261 yang berbicara tentang sedekah yang dilipatgandakan seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, Imam Al-Qurthubi menulis:
“Ini menunjukkan bahwa amal yang sedikit pun, bila dilakukan dengan ikhlas, bisa tumbuh besar karena rahmat Allah. Sama seperti benih yang kecil, tapi tumbuh menjadi pohon besar dan berbuah banyak.”
Dengan kata lain, Islam mengajarkan bahwa hidup ini memang berjalan sesuai hukum sebab-akibat. Kebaikan mendatangkan kebaikan, dan keburukan menimbulkan kesempitan—jika tidak dibalas di dunia, maka pasti di akhirat.
Namun, penting juga dipahami bahwa Islam tidak menyederhanakan konsep ini menjadi “karma instan”. Tidak semua orang jahat langsung tertimpa bencana, dan tidak semua orang baik langsung hidup mulia.
Kadang, balasan ditangguhkan hingga hari akhir sebagai bentuk keadilan sejati dari Allah. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami akan menempatkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan walau seberat biji sawi…”
(QS. Al-Anbiya’: 47)
Penutup
Dari penjelasan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan pendapat para ulama, kita bisa menyimpulkan bahwa prinsip tabur tuai sangat sejalan dengan ajaran Islam.
Hanya saja, Islam memandangnya bukan sebagai hukum mekanis semata, tetapi sebagai bagian dari keadilan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Setiap perbuatan yang kita lakukan—baik atau buruk—akan kembali kepada kita, cepat atau lambat, di dunia atau akhirat.
Maka, mari kita perbanyak menanam benih kebaikan: dengan lisan, hati, dan perbuatan. Karena tak ada satu pun kebaikan yang sia-sia di sisi Allah.