Saditra, Dalam kehidupan sehari-hari, lisan adalah bagian tubuh yang kecil namun memiliki pengaruh yang luar biasa.
Banyak kebaikan yang dapat tersebar melalui kata-kata, namun tidak sedikit pula keburukan yang bermula dari ucapan yang sembrono.
Islam sebagai agama yang sempurna sangat memperhatikan bagaimana seorang Muslim menggunakan lisannya. Rasulullah ﷺ memberikan pedoman sederhana namun dalam maknanya: “Berkatalah yang baik atau diamlah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan termaktub dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, yaitu sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت”
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)
Hadits ini tidak hanya sekadar nasihat etika, tetapi menjadi tolak ukur keimanan.
Rasulullah ﷺ tidak berkata, “Jika ingin dihormati, maka berkatalah yang baik,” melainkan mengaitkan perintah itu langsung dengan iman kepada Allah dan hari akhir. Artinya, menjaga ucapan adalah bagian dari manifestasi iman yang nyata.
Makna Berkata Baik
Berkata baik tidak hanya berarti berkata sopan atau santun, tetapi juga mencakup segala bentuk ucapan yang membawa manfaat, kebaikan, dan tidak menyakiti orang lain.
Termasuk di dalamnya adalah memberi nasihat, menyampaikan ilmu, mendoakan sesama, bahkan sekadar menyapa dengan senyum yang tulus.
Allah Subhanaahu Wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا”
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 83)
Sebenarnya Ayat ini datang dalam konteks perintah Allah kepada Bani Israil, namun para ulama menegaskan bahwa kandungannya bersifat umum.
Ucapan yang baik adalah perintah universal yang berlaku sepanjang masa. Tidak hanya kepada sesama Muslim, bahkan kepada siapa pun, termasuk non-Muslim, kita diperintahkan untuk bertutur kata dengan baik.
Diam Sebagai Pilihan Bijak
Terkadang, diam bukan berarti tidak peduli, melainkan bentuk kehati-hatian.
Banyak pertengkaran, permusuhan, bahkan keretakan hubungan, bermula dari ucapan yang tak dipikirkan. Di sinilah letak pentingnya diam. Diam menjadi pelindung dari dosa-dosa lisan seperti ghibah, fitnah, mengumpat, atau bahkan berdusta.
Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin mengutip hadits ini dalam bab “Menjaga Lisan”, menandakan betapa pentingnya topik ini dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
Dalam riwayat lain yang juga shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
“إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله لا يلقي لها بالا، يرفعه الله بها درجات، وإن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا، يهوي بها في جهنم”
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan satu kata yang diridhai Allah, padahal ia menganggapnya sepele, namun Allah mengangkat derajatnya karenanya. Dan seseorang benar-benar mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah, padahal ia menganggapnya ringan, namun ia terjerumus ke dalam neraka karenanya.”
(HR. Bukhari no. 6478)
Hadits ini menjadi pengingat bahwa setiap kata yang keluar dari lisan kita akan dicatat dan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Maka tidak heran jika diam dianggap sebagai ibadah ketika tidak ada kebaikan dalam berbicara.
Penutup
Menjaga lisan bukan hal yang mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika seseorang menyadari tanggung jawab spiritual dari setiap ucapannya.
Islam mengajarkan bahwa berbicara bukan hanya soal menyampaikan isi hati, tapi juga sarana beramal. Berkata baik adalah bentuk amal yang ringan namun besar pahalanya, dan diam adalah perisai dari keburukan.
Maka, dalam menjalani hidup yang penuh dinamika ini, mari kita jaga lisan kita sebagaimana kita menjaga kehormatan diri.
Karena sesungguhnya, iman yang utuh tercermin dari bagaimana kita menggunakan lidah kita.