Saditra, Pertanyaan “Apakah tunanetra itu bisa diturunkan?” seringkali muncul dari masyarakat awam dengan rasa ingin tahu, keprihatinan, atau kadang, kekhawatiran.
Pertanyaan ini biasanya mengemuka saat mereka melihat pasangan suami istri tunanetra yang kemudian memiliki anak yang juga mengalami kebutaan. Fenomena ini membuat sebagian orang berasumsi bahwa disabilitas netra adalah sesuatu yang pasti diturunkan.
Namun, benarkah demikian? Mari kita bahas dengan bijak, berdasarkan ilmu pengetahuan dan refleksi sosial.
Kasus Nyata Keluarga dengan Disabilitas Netra Turun Temurun
Dalam beberapa dokumentasi lapangan dan penelitian sosial, memang terdapat kasus di mana pasangan tunanetra memiliki anak yang juga tunanetra.
Salah satu studi kasus yang menarik adalah penelitian oleh Mitra et al. (2016) yang meneliti beberapa komunitas disabilitas di India dan Asia Tenggara.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam keluarga dengan riwayat gangguan penglihatan tertentu (seperti retinitis pigmentosa atau glaucoma kongenital), ada kecenderungan anak mewarisi kondisi yang serupa, terutama jika faktor genetiknya kuat.
Namun perlu ditegaskan, tidak semua disabilitas netra bersifat genetik. Dalam banyak kasus lain, kebutaan pada anak justru disebabkan oleh faktor eksternal seperti infeksi selama kehamilan, kekurangan gizi, atau komplikasi saat persalinan — dan ini tidak ada hubungannya dengan faktor keturunan.
Memahami Tunanetra dari Perspektif Medis-Genetik
Secara medis, memang ada beberapa jenis kebutaan yang disebabkan oleh mutasi genetik.
Menurut jurnal Genetics in Medicine (2019), ada lebih dari 200 gen yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan jika mengalami mutasi. Salah satunya adalah retinitis pigmentosa, gangguan degeneratif pada retina yang sering bersifat autosom resesif — artinya, dua orang tua harus sama-sama membawa gen tersebut agar anaknya berisiko terkena.
Penelitian oleh Daiger et al. (2013) menegaskan bahwa jika kedua orang tua memiliki gen pembawa (carrier), kemungkinan anak lahir dengan kebutaan jenis ini memang ada. Namun, persentasenya tetap bergantung pada jenis pewarisan genetik yang terjadi.
Sebaliknya, kebutaan akibat rubella kongenital, ROP (retinopathy of prematurity), atau infeksi toksoplasmosis selama kehamilan tidak diturunkan secara genetik, melainkan dipicu oleh kondisi kehamilan atau lingkungan.
Refleksi Sosial: Lebih dari Sekadar Genetika
Kasus pasangan tunanetra yang memiliki anak tunanetra seringkali mendapat stigma atau pandangan kasihan dari masyarakat.
Padahal, pendekatan ilmiah mengajarkan kita untuk tidak menilai hanya dari hasil akhirnya, melainkan dari proses yang terjadi. Kita perlu mengedukasi masyarakat bahwa kebutaan tidak serta-merta diturunkan, dan tidak semua tunanetra lahir dari orang tua tunanetra.
Lebih penting lagi, banyak pasangan tunanetra yang secara sadar mempersiapkan kehamilan dengan konsultasi genetik, perawatan antenatal yang baik, dan memantau kesehatan janin secara teratur.
Dalam konteks ini, akses layanan kesehatan yang setara menjadi faktor kunci — bukan sekadar faktor genetik itu sendiri.
Dalam obrolan dengan beberapa keluarga tunanetra, penulis pernah mendapati refleksi sederhana dari seorang ibu tunanetra:
“Kami memang tidak bisa melihat dunia dengan mata, tapi kami tidak ingin dunia memandang kami sebagai kesalahan genetik.”
Refleksi ini penting untuk direnungkan — bahwa manusia adalah makhluk utuh, bukan sekadar hasil dari kromosom yang diwariskan.
Penutup
Maka, menjawab pertanyaan “Apakah tunanetra bisa keturunan?” jawabannya adalah bisa iya, bisa tidak. Ada kondisi genetik tertentu yang dapat diturunkan, namun banyak juga penyebab kebutaan yang tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan.
Jawaban ini tidak bisa bersifat hitam-putih. Yang jelas, kita perlu menanggapi fenomena ini dengan ilmu pengetahuan yang akurat, disertai empati dan penghormatan terhadap setiap individu — tunanetra maupun tidak.
Karena pada akhirnya, yang menentukan kualitas hidup seseorang bukan hanya seberapa sempurna fungsi penglihatannya, tetapi seberapa utuh ia sebagai pribadi yang berdaya.