Saditra, Dalam khazanah keislaman, terutama di ranah tasawuf, ada sebuah kitab yang tak lekang oleh zaman, tak lapuk oleh waktu.
Kitab Al-Hikam karya Syekh Ibn ‘Atha’illah As Sakandari. Kitab ini bukan sekadar kumpulan kata-kata hikmah, melainkan sebuah panduan spiritual yang mengajak pembacanya menyelami relung hati, mengenal diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Bagi para pencari makna, Al-Hikam laksana air di tengah gurun kehidupan yang gersang.
Setiap kalimatnya padat, dalam, dan sarat dengan tuntunan untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs).
Lalu, dari mana kitab ini berasal? Siapa penulisnya? Dan bagaimana kaitannya dengan ilmu tasawuf? Mari kita telusuri bersama.
Mengenal Riwayat Sang Penulis
Syekh Ibnu ‘Atha’illah As Sakandari (w. 709 H/1309 M) adalah seorang ulama besar yang hidup di masa Dinasti Mamluk, Mesir.
Awalnya, beliau adalah seorang ahli fikih yang mengajar di Al-Azhar, tetapi kemudian beliau lebih dikenal sebagai seorang sufi dan mursyid (pembimbing spiritual) dalam tarekat Syadziliyah—salah satu tarekat sufi terkemuka.
Menariknya, Ibn ‘Atha’illah tidak langsung terjun ke dunia tasawuf.
Konon, beliau sempat meragukan jalan sufi, bahkan mengkritik gurunya, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi.
Namun, setelah mengalami pencerahan batin, beliau justru menjadi salah satu penerus utama ajaran tasawuf ini.
Dari tangannya, lahir beberapa karya penting, tetapi Al-Hikam adalah yang paling masyhur.
Kitab ini berisi 263 hikmah (kata-kata bijak) yang mengupas tentang hubungan manusia dengan Allah, hakikat ikhlas, tawakal, dan makna sejati di balik ujian hidup.
Dasar dan Sumber Kitab Al-Hikam
Kitab Al-Hikam bukanlah produk pemikiran semata, melainkan hasil olahan mendalam dari Al-Qur’an, Hadits, dan pengalaman spiritual penulisnya.
Beberapa tema utamanya antara lain:
Tawakal dan Kebergantungan pada Allah
“Bagaimana bisa terang hatimu, sementara engkau masih melihat sebab-sebab yang mengantarkanmu kepada-Nya?”
Ibn ‘Atha’illah mengingatkan bahwa terlalu fokus pada sebab-sebab duniawi bisa menghalangi kita dari menyadari kuasa Allah yang mutlak.
Makna Hakiki di Balik Ujian
“Ketika Allah menguji kamu dengan suatu musibah yang tidak bisa kamu hindari, maka lebih baik kamu menerimanya dengan lapang dada daripada memohon agar musibah itu diangkat.”
Ini mengajarkan kita untuk melihat setiap kesulitan sebagai sarana penyucian jiwa.
Bahaya Riya’ dan Keikhlasan
“Amal-amal lahir adalah bentuk-bentuk mati, yang dihidupkan oleh ruh keikhlasan di dalamnya.”
Di sini, beliau menekankan bahwa amal tanpa keikhlasan bagai jasad tanpa nyawa.
Kitab ini juga sering dilengkapi dengan syarah (penjelasan) dari ulama lain, seperti Syekh Abdullah Gangohi, yang membantu pembaca memahami makna tersirat di balik kata-kata Ibn ‘Atha’illah.
Al-Hikam dan Ilmu Tasawuf
Tasawuf sering disalahpahami sebagai sekadar ritual zuhud atau laku asketis.
Padahal, inti tasawuf adalah penyucian jiwa (tazkiyah) dan pendekatan diri kepada Allah melalui maqam-maqam (tingkatan spiritual) seperti tobat, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.
Al-Hikam menjadi salah satu rujukan utama dalam tasawuf karena:
- Menggabungkan Syariat dan Hakikat
- Mengajak Pembaca untuk Introspeksi Diri
- Mengungkap Rahasia Ketuhanan
Ibn ‘Atha’illah tidak memisahkan antara hukum fikih dan dimensi batin. Misalnya, beliau menegaskan bahwa ibadah fisik (seperti shalat) harus disertai kehadiran hati.
“Janganlah engkau bersedih karena dosa-dosamu, tetapi bersedihlah karena kelalaianmu dalam bertaubat.”
Pesan seperti ini mengajak kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, tetapi juga tidak meremehkan dosa.
“Allah menyembunyikan tiga hal dalam tiga hal:
1. Ridha-Nya dalam ketaatan (jangan kau cari di luar itu),
2. Murka-Nya dalam kemaksiatan (jangan kau remehkan),
3. Kekasih-Nya di antara hamba-hamba-Nya (jangan kau sangka hanya orang tertentu).”
Ini menunjukkan bahwa tasawuf bukanlah jalan untuk “lari dari dunia”, melainkan memaknai dunia dengan perspektif Ilahi.
Penutup: Al-Hikam di Era Modern
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, Al-Hikam tetap relevan. Ia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada harta atau jabatan, tetapi pada kedekatan dengan Allah.
Bagi yang ingin mempelajarinya, kitab ini tersedia dalam berbagai edisi, termasuk terjemahan bahasa Indonesia dengan syarah (penjelasan) yang memudahkan pemahaman.
Mari kita akhiri dengan salah satu hikmah Ibn ‘Atha’illah:
Barangsiapa yang tidak dibukakan baginya pintu makrifat (mengenal Allah), maka segala amalnya hanyalah beban yang memberatkannya.”
oga kita termasuk orang-orang yang diberi cahaya untuk memahami hikmah di balik setiap kata dalam kitab agung ini.