Saditra , selamat datang di ruang inspirasi kita kali ini.
Di tengah kesibukan dan dinamika hidup yang kadang terasa berat, kita semua butuh penyejuk jiwa, bukan? Terlebih bagi para pejuang disabilitas netra yang setiap hari mengajarkan kita makna ketangguhan dan keikhlasan.
Kali ini, mari kita bersama-sama menyelami kehidupan seorang tokoh besar yang karyanya telah menghidupkan jutaan hati—Imam Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari.
Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar namanya, atau bahkan sudah akrab dengan kata-kata hikmahnya yang begitu dalam.
Namun, bagi yang belum mengenalnya, inilah saat yang tepat untuk berkenalan dengan seorang sufi yang ajarannya mampu menyentuh relung hati terdalam.
Beliau tidak hanya mengajarkan tentang zuhud dan ibadah, tetapi juga tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh kesadaran, kelembutan, dan ketulusan—nilai-nilai yang sangat relevan dengan perjuangan sehari-hari para penyandang disabilitas.
Mengapa Kita Perlu Mengenal Ibn ‘Atha’illah?
Saditra, pernahkah kita merasa bahwa hidup ini terasa berat? Atau mungkin, kadang kita bertanya, “Mengapa Allah memberi ujian yang sepertinya tak kunjung usai?”
Nah, Ibn ‘Atha’illah adalah salah satu ulama yang paham betul tentang pergulatan batin manusia. Lewat kata-kata bijaknya, ia mengajak kita untuk melihat ujian bukan sebagai beban, melainkan sebagai undangan dari Allah untuk lebih dekat kepada-Nya.
Beliau hidup di zaman keemasan Islam, di mana tasawuf bukan sekedar teori, tetapi praktik nyata dalam membersihkan hati. Dan inilah yang membuat ajarannya tetap hidup hingga sekarang—karena ia berbicara tentang sesuatu yang universal: kerinduan manusia akan kedamaian hati.
Siapakah Ibn ‘Atha’illah?
Sebelum kita masuk lebih dalam, mari berkenalan dulu dengan sang Imam.
Nama lengkapnya adalah Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn ‘Atha’illah al-Judzami as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariyah (Alexandria), Mesir, pada abad ke-13 Masehi.
Awalnya, ia adalah seorang ahli fikih mazhab Maliki yang mendalami hukum Islam dengan serius.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan gurunya, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi, seorang sufi besar dari Tarekat Syadziliyah. Di sinilah Ibn ‘Atha’illah menemukan bahwa ilmu lahir (syariat) harus berjalan beriringan dengan ilmu batin (hakikat).
Tasawuf Menurut Ibn ‘Atha’illah: Bukan Lari dari Dunia, Tapi Mendekat pada Allah
Saditra, mungkin sebagian orang mengira tasawuf adalah lari dari kehidupan dunia, mengasingkan diri di gua-gua, atau meninggalkan semua urusan manusiawi.
Tapi Ibn ‘Atha’illah menolak pandangan itu. Baginya, tasawuf adalah tentang bagaimana kita tetap hidup di dunia, namun hati kita selalu terhubung dengan Allah.
Dalam salah satu nasihatnya yang terkenal, beliau berkata:
Jangan tinggalkan usaha (ikhtiar) hanya karena mengandalkan takdir. Sebab, itu tanda kebodohan. Tapi jangan pula mengandalkan usahamu seolah takdir tidak ada. Sebab, itu tanda kesombongan.
Artinya, kita tetap berusaha, bekerja, dan berjuang—termasuk para penyandang disabilitas yang setiap hari berikhtiar melewati tantangan. Namun, di saat yang sama, kita juga harus pasrah dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita.
Karya-Karya yang Abadi: Dari Al-Hikam hingga Nasihat Penuh Makna
Salah satu warisan terbesar Ibn ‘Atha’illah adalah kitab Al-Hikam, kumpulan kata-kata bijak yang singkat namun sarat makna.
Kitab ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi bacaan wajib bagi pencari ketenangan hati.
Penutup
Saditra, Hidup ini penuh ujian, tetapi setiap ujian adalah undangan untuk lebih dekat dengan-Nya. Seperti Ibn ‘Atha’illah ajarkan, ketika kita merasa lelah, ingatlah bahwa Allah tidak pernah tidur. Ketika kita merasa sendirian, ingatlah bahwa Dia selalu lebih dekat dari nafas kita sendiri.
Semoga kisah dan nasihat Ibn ‘Atha’illah ini bisa menjadi penyejuk hati kita semua. Teruslah berjuang, karena setiap langkah ikhlas kita, sekecil apa pun, adalah ibadah di mata-Nya.
Jika engkau ingin kemuliaan, tunduklah kepada Allah. Jika engkau ingin kekuatan, mintalah kepada-Nya. Dan jika engkau ingin ketenangan, dekatkanlah dirimu kepada-Nya.
– Ibn ‘Atha’illah.